January 16, 2009

Pembangunan

Gubernur Kalteng Tagih Penyelesaian RTRWP

PALANGKA RAYA-Dari 33 provinsi yang ada di Indonesia, ada dua provinsi yaitu Kalimantan Tengah dan Riau yang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) tidak pernah selesai. Padahal dua provinsi tersebut sebagai penghasil sumber daya alam yang melimpah ruah.

Demikian dikatakan Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang SH ketika menerima kunjungan kerja Masa Sidang II tahun 2008-2009 Komisi IV DPR RI ke provinsi Kalimantan Tengah, Rabu (14/1) malam di rumah jabatan Gubernur di Palangka Raya.

Dijelaskannya, masih adanya ketidaksinergisan data yang dimiliki Departemen Kehutanan dengan data yang ada di provinsi Kalteng sehingga mengakibatkan terlambatnya pengesahan RTRWP. Misalnya, mengenai Kota Palangka Raya sendiri menurut data di Departemen Kehutanan masuk kawasan hutan Industri. Dampaknya, kesulitan provinsi ini untuk melakukan pengembangan wilayah dan pemanfaatan sumber daya alamnya yang semata-mata untuk kemakmuran masyarakat sendiri.

Kunjungan kerja yang dilakukan DPR RI komisi IV ke beberapa kabupaten di Kalteng diantaranya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Katingan dan Kota Palangka Raya ini dari tanggal 12 - 16 Januari 2009 merupakan kunjungan kerja yang kedua kalinya ke Kalteng. Selain obyek pembangunan di bidang kehutanan, Komisi IV DPR RI juga mengunjungi obyek pembangunan di bidang pertanian, kelautan dan perikanan serta Badan Urusan Logistik sebagai mitra kerjanya.

”Sekitar tahun 70-an meledaknya ’emas hijau’ (kayu, red), HPH berdiri berpuluh-puluh tahun, ditebang semuanya. Tidak ada yang marah, tidak ada yang ribut,” keluh Teras. Tetapi ketika giliran pertambangan, perkebunan mau masuk, tambahnya, baru ribut harus menunggu izin departemen kehutanan.

Menurutnya, jika ada yang menganggap perkebunan mau merambah hutan, hutan yang mana yang mereka rambah karena sudah habis oleh HPH-HPH yang telah menguras hutan Kalteng.

Selain itu Teras juga mengeluhkan adanya PP, keputusan menteri, surat Irjen, surat sekjend, Baplan yang bertentangan sehingga dampaknya berimbas bagi daerah.

”Kalimantan Tengah tidak akan pernah bisa dibangun jika masih ada PP, keputusan menteri, surat Irjen, surat sekjend, Baplan yang bertentangan sehingga perlu adanya legal audit,” kritiknya.

Di satu pihak kita dilarang untuk merambah hutan, tambahnya, namun di pihak lain, Departemen Kehutanan masih melakukan lelang, masih menerbitkan HPH, masih memberikan ijin untuk mengekspolitasi hutan 20 tahun, 25 tahun dan ada diberikan terus perpanjangan, padahal sudah ada yang tidak jalan.

Menurutnya, sekitar 88 HPH yang beroperasi di Kalteng, hanya 58 yang aktif sisanya tidak aktif, namun pemerintah tetap lengah dengan kondisi tersebut sehingga perlu diadakannya pengauditan kembali segala hal yang terkait masalah tersebut.

”Ini karena tidak ada yang mampu mengaudit, tidak ada yang mempu memberikan pengawalan dan tidak ada yang mampu menyampaikan hal ini kenapa ini terjadi,” keluhnya lagi.

Selain itu adanya kewajiban bagi pengusaha pertambangan atau perkebunan untuk menggunakan jalan koridor HPH dikenakan biaya tersendiri. Sehingga para pemegang HPH saat ini beralih profesi dengan menjual jasa pada koridor yang harus dilewati.

”Sekarang perkebunan dan pertambangan sudah pesat dan yang diuntungkan HPH karena mereka (pertambangan atau perkebunan) harus menggunakan koridor mereka, sehingga HPH yang aktif dan tidak aktif diuntungkan dengan hanya menjual koridor tersebut,” ujarnya.

Kondisi ini yang menyebabkan suasana yang tidak kondusif, tambahnya, yang disalahkan daerah, kenapa daerah tidak mampu menciptakan kenyamanan bagi investor, padahal peraturan yang ada yang tidak menciptakan suasana kenyamanan untuk para investor.

0 comments:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com